Makalah Biografi Teuku Muhammad Hasbi ash-Shidieqy
BAB I
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
Teuku Muhammad Hasbi ash-Shidieqy merupakan salah
seorang cendekiawan muslim Indonesia yang mahir dalam bidang fiqih, hadits, dan
al-Qur’an. Berbicara tentang perkembangan tafsir di Indonesia akan kurang
lengkap kiranya kalau tidak membahas tentang beliau. Hal ini dikarenakan beliau
termasuk pelopor penerjemahan al-Qur’an dengan bahasa Indonesia. Beliau
menerjemahkan al-Qur’an dengan bahasa Indonesia karena beliau melihat banyak
masyarakat Islam Indonesia yang ingin memahami tafsir tetapi terkendala oleh
kemampuan bahasa arab yang mereka miliki. Sebagaimana yang juga kita ketahui
bahwasanya kitab tafsir yang mu’tabar mayoritas berbahasa Arab. Salah satu
karya tafsir beliau adalah tafsir al-Qur’anul Majid al-Nur. Tafsir ini beliau
tulis antara tahun 1950-1970 M saat para ulama’ Saudi mengharamkan penerjemahan
al-Qur’an kepada selain bahasa Arab.
Untuk itulah melalui makalah
singkat ini penulis akan membahas bagaimana sosok Teuku
Muhammad Hasbi ash-Shidieqy dalam pemikiran-pemikiran
beliau. Hal ini sangat menarik, karena sangat jarang tokoh-tokoh di indonesia
memiliki kemampuan dalam menafsirkan al-Qur’an seperti beliau
2.
Rumusan Masalah
Dalam makalah ini ada beberapa hal yang akan dibahas, diantaranya
1. Bagaimana Biografi Teuku Muhammad
Hasbi ash-Shidieqy ?
2. Bagaimana sejarah pendidikan Teuku Muhammad Hasbi ash-Shidieqy ?
3. Apa saja karya-karya Teuku Muhammad Hasbi ash-Shidieqy ?
4. Bagaimana pemikiran Teuku Muhammad Hasbi ash-Shidieqy ?
3.
Tujuan
Adapun Tujuan dari Makalah ini adalah untuk mengetahui:
1. Bagaimana Biografi Teuku
Muhammad Hasbi ash-Shidieqy
2. Bagaimana sejarah pendidikan Teuku
Muhammad Hasbi ash-Shidieqy
3. Apa saja karya-karya Teuku
Muhammad Hasbi ash-Shidieqy
4. Bagaimana pemikiran Teuku
Muhammad Hasbi ash-Shidieqy
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Biografi
Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy
Teuku Hasbi lahir di Lhokseumawe, Aceh Utara, pada 10
maret 1904. Nama aslinya Muhammad Hasbi ash-Shidieqy. Nama “ash-Shidieqy”
menisbatkan namanya kepada nama Abu Bakar ash-Shidieq, karena Teuku Hasbi
memiliki kaitan nasab (garis keturunan) dengan shahabat Nabi Muhammad saw itu
melalui ayahnya, Teuku Muhammad Hussein Ash-Shidieqy atau yang dikenal pula
dengan Teuku Kadi Sri Maharaja Mangkubumi Hussein bin Mas’ud. Ibunya bernama
Teuku Amrah binti Sri Maharaja Mangkubumi Abdul Aziz.[1] Walaupun
lahir dari keluarga ulama’ terkenal di Aceh, Teuku Hasbi tidak terlena dengan
nama besar yang disandang keluarganya. Sejak kecil beliau terbiasa untuk hidup
prihatin. Apalagi sejak kanak-kanak beliau telah menjadi piatu karena ibunya
meninggal pada tahun 1910 ketika beliau berumur 6 tahun.sepeninggal ibunya
Hasbi kecil diasuh oleh Teuku Syamsiyah, saudara ibunya yang tidak berputra.
Setelah bibinya wafat Teuku Hasbi tinggal dirumah kakaknya, sampai kemudian ia
pergi nyantri dari satu pesantren ke pesantren lainnya.[2]
2.
Pendidikan
Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy
Pada awalnya, Hasbi Ash-Shiddieqy
belajar qira’ah dan tajwid serta dasar-dasar tafsir dan fiqih pada ayahnya
sendiri, dan dalam usianya delapan tahun ia telah khatam mengaji al-Qur’an.
Setelah memperoleh ilmu-ilmu keagamaan dari ayahnya,ia nyantri di
pesantren-pesantren. Pada tahun 1912, ia nyantri di pesantren Tengku Piyeunga;
pada tahun 1913, aia nyantri di pesantren Bluk Bayu; pada tahun 1914, ia
nyantri di pesantren Blang Kabu; pada tahun 1916, nyantri di pesantren tengku
Idris; pada tahun 1918 dipesantren tengku Chik Hasan. Selanjutnya, pada tahun
1920 dari tengku Chik Hasan Kruengkale, TM Hasbi Ash Shiddieqy memperoleh
syahadah sebagai pernyataan bahwa ilmunya telah cukup dan berhak untuk membuka
pesantren sendiri.
Pada tahun 1926, Hasbi Ash
Shiddieqy bersama Syaikh al-Kalali berangkat ke Surabaya untuk melanjutkan
pendidikan di madrasah al-Irsyad (sebuah organisasi keagamaan yang didirikan
oleh Syeikh Ahmad Soorkati (1874 – 1943), seorang ulama yang berasal dari Sudan.
Setelah di tes, ia dapat diterima di jenjang takhassus (spesiallisasi) dalam
bidang pendidikan dan bahasa. Setelah belajar di al-Irsyad ia mengembangkan dan
memperkaya diri dengan ilmu melalui belajar sendiri (otodidak). Baginya,buku
adalah buku terbaik.
Pada tahun 1960, Hasbi Ash
Shiddieqy memperoleh dua gelar doktor Honoris Causa sekaligus. Dr. HC pertama
ia peroleh dari Unisba (Uniersitas Bandung) dan Dr. HC yang kedua ia terima
dari PTAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, yang sekarang ini telah berubah status
menjadi UIN Sunan Kalijaga. Dengan penganugrahan Dr. HC ini, Hasbi kemudian
mengajar beberapa mata kuliah di kedua perguruan tinggi tersebut.
Pada tahun 1966, Hasbi Ash
Shiddieqy dikukuhkan sebagai guru besar di PTAIN Sunan Kalijaga dalam bidang
keilmuan Hadits dan Hukum Islam. Selanjutnya ia menjabat Dekan pada Fakultas
Syari’ah sampai tahun 1972.
Hasbi Ash Shiddieqy juga mengajar
dan memangku jabatan struktural pada perguruan tinggi-perguruan tinggi islam
swasta. Dalam hal ini, pada tahun 1961 sampai 1971, dia juga menjabat Rektor
Universitas Al-Irsyad di Surakarta; pada tahun 1964, ia mengajar di Universitas
Islam Indonesia (UII) di Yogyakarta; pada tahun 1967 ia mengajar dan menjabat
dekan Fakultas Syari’ah Unissula (Universitas Islam di Sultan Agung) di
Semarang. Di samping itu, Hasbi juga pernah terpasang namanya sebagai dosen di
universitas Muslim Indonesia (UMI) Makasar dalam kurun waktu tahun 1960-an.
Memasuki tahun 1975 Hasbi Ash Shiddieqy
menjalani perawatan inap di Rumah Sakit Islam Jakarta dan tepatnya pada hari
senin, 9 desember 1975, pukul 17.45, Hasbi wafat. Jika kembali ditelusuri tahun
kelahirannya (1904) dan tahun wafatnya (1975), maka diketahui bahwa Hasbi
berusia 71 tahun.(Mushlihin Al-Hafizh,2011)
3.
Karya
Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy
Semasa hidupnya, hasbi Ash
Shiddieqy aktif menulis. Dia telah banyak mewariskan berbagai karya ilmiah dan
telah mencetak generasi ulama dan intelektual fiqih indonesia. Murid-murid
hasbi yang perlu dicatat disini adalah Ali Hasjmiy, Isma’il ya’qub, Nouruzzaman
Shiddieqy, rasdiyanah Amir dan lain-lain. Sepeninggal Hasbi Ash Shiddieqy,
muncul sebuah buku yang berjudul Fiqih
Indonesia;Penggagas dan Gagasannya yang ditulis Nourouzzaman Shiddiqi. Buku
ini menempatkan Hasbi sebagai tokoh utama penggagas fiqih yang berwawasan
indonesia.(Mushlihin Al-Hafizh,2011)
Menurut
catatan, karya tulis yang telah dihasilkan oleh Hasbi Ash Shiddieqy berjumlah
73 judul buku, terdiri dari 142 jilid dan 50 artikel. Sebagian besar karyanya
adalah buku-buku fiqih yang berjumlah 36 judul. Karya Hasbi paling fenomenal adalah Tafsir an-Nur. Sebuah tafsir al-Qur`an
30 juz dalam bahasa Indonesia. Karya ini fenomenal karena tidak banyak ulama
Indonesia yang mampu menghasilkan karya tafsir semacam itu.
Berikut akan kita
bahas secara ringkas tentang Tafsir An-Nur karya Muhammad
Hasbi Ash Shiddieqy.
- Mengenal Tafsir An-Nur
Tafsir al-Nur merupakan salah satu karya monumental
dari T.M. Hasbi ash-Shidieqy. Beliau merampungkan penafsiran seluruh al-Qur’an,
30 juz. Kadangkala tafsir al-Nur ini diterbitkan perjilid sejumlah juz
al-Qur’an. Setiap jilidnya kurang lebih mencapai 200 halaman. Di lain
kesempatan, karya tafsir beliau ini diterbitkan menjadi 10 jilid, yang mana
masing-masing jilid memuat 3 juz. Di penerbit yang lain tafsir ini diterbitkan
dalam 5 jilid; jilid 1 terdiri dari 4
surat pertama, jilid 2 terdiri dari 6 surat berikutnya, jilid 3 terdiri dari 12
surat berikutnya, jilid 4 terdiri dari 17 surat berikutnya, dan jilid 5 terdiri
dari 72 surat yang terakhir. Kemungkinan besar, tafsir beliau ini ditulis
antara tahun 1950 M-1970 M.
- Latar Belakang Penulisan
Pada kata pengantar Tafsir An-Nur, beliau mengatakan :
Indonesia membutuhkan perkembangan tafsir dalam bahasa persatuan Indonesia, maka untuk memperbanyak lektur Islam dalam masyarakat Indonesia dan untuk mewujudkan suatu tafsir yang sederhana yang menuntun para pembacanya kepada pemahaman ayat dengan perantaraan ayat-ayat itu sendiri. Sebagaimana Allah telah menerangkan ; bahwa Al-Qur’an itu setengahnya menafsirkan yang setengahnya, yang meliputi penafsiran-penafsiran yang diterima akal berdasarkan pentakhwilan ilmu dan pengetahuan, yang menjadikan intisari pendapat para ahli dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan yang diisyaratkan Al-Qur’an secara ringkas. Dengan berharap taufiq dan inayah yang maha pemurah lagi maha penyayang, kemudian dengan berpedoman kepada kitab-kitab tafsir yang mu’tabar, kitab-kitab hadits yang mu’tamad, kitab-kitab sirah yang terkenal. Saya menyusun kitab tafsir in dengan saya namai “An-Nur.
Dari ungkapan di atas dapat kita ketahui bahwa motivasi Hasbi Ash-Shiddieqy sangat mulia yaitu untuk memenuhi hajat orang Islam di Indonesia untuk mendapatkan tafsir dalam Bahasa Indonesia yang lengkap, sederhana dan mudah dipahami. Hal ini tidak lepas dari kitab-kitab tafsir yang mu’tabar yang ada mayoritas berbahasa arab. Sehingga orang-orang yang kurang menguasai bahasa arab dan ingin memahami tafsir akan sangat kesulitan apabila harus merujuk kepada kitab tafsir yang berbahasa arab.
Indonesia membutuhkan perkembangan tafsir dalam bahasa persatuan Indonesia, maka untuk memperbanyak lektur Islam dalam masyarakat Indonesia dan untuk mewujudkan suatu tafsir yang sederhana yang menuntun para pembacanya kepada pemahaman ayat dengan perantaraan ayat-ayat itu sendiri. Sebagaimana Allah telah menerangkan ; bahwa Al-Qur’an itu setengahnya menafsirkan yang setengahnya, yang meliputi penafsiran-penafsiran yang diterima akal berdasarkan pentakhwilan ilmu dan pengetahuan, yang menjadikan intisari pendapat para ahli dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan yang diisyaratkan Al-Qur’an secara ringkas. Dengan berharap taufiq dan inayah yang maha pemurah lagi maha penyayang, kemudian dengan berpedoman kepada kitab-kitab tafsir yang mu’tabar, kitab-kitab hadits yang mu’tamad, kitab-kitab sirah yang terkenal. Saya menyusun kitab tafsir in dengan saya namai “An-Nur.
Dari ungkapan di atas dapat kita ketahui bahwa motivasi Hasbi Ash-Shiddieqy sangat mulia yaitu untuk memenuhi hajat orang Islam di Indonesia untuk mendapatkan tafsir dalam Bahasa Indonesia yang lengkap, sederhana dan mudah dipahami. Hal ini tidak lepas dari kitab-kitab tafsir yang mu’tabar yang ada mayoritas berbahasa arab. Sehingga orang-orang yang kurang menguasai bahasa arab dan ingin memahami tafsir akan sangat kesulitan apabila harus merujuk kepada kitab tafsir yang berbahasa arab.
- Sumber Penafsiran
Dalam menyusun kitab tafsir al-Nur ini, Hasbi ash-Shiddieqy
banyak berlandaskan pada sumber-sumber ayat al-Qur’an, riwayat Nabi SAW,
riwayat sahabat dan tabiin serta mengutip dari
rujukan-rujukan mu`tabar, di antaranya tafsir Jami` al-Bayan
karya ath-Thabari, Tafsir al-Qur’an al-`Azhim karya Ibnu Katsir, tafsir
al-Qurthubi, tafsir al-Kasysyaf karya az-Zamakhsyari, dan at-Tafsir
al-Kabir karya Fakhruddin ar-Razi. Tidak hanya tafsir klasik, tafsir ulama muta’akhkhirin
juga menjadi sumber ash-Shiddieqy, seperti, tafsir al-Manar karya
Muhammad Rasyid Ridha, tafsir al-Maraghi, tafsir al-Qasimi, dan tafsir al-Wadhih.
Selain kitab-kitab tafsir, ia juga merujuk kepada kitab-kitab induk hadis yang mu`tamad
(dipercaya), semisal, kitab Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim,
dan kitab-kitab as-Sunan dan juga kitab-kitab sirah yang terkenal.
- Metode dan Corak Penafsiran
Adapun secara rinci
metode penafsiran yang digunakan oleh Hasbi di dalam tafsir al-Nur berdasarkan
pembagian metode yang di lakukan Abdul Jalal adalah sebagai berikut:
1. Metode tafsir
bi al-izdiwaji (perpaduan antara bi al Manqul dan bi al Ma’qul)
(bila ditinjau dari segi sumber penafsirannya): Adalah cara menafsirkan al
Qur’an yang didasarkan atas perpaduan antara sumber tafsir riwayah yang kuat
dan dan shahih dengan sumber hasil ijtihad pikiran yang sehat.
2. Metode tafsir
Muqarin/komparasi (bila ditinjau dari segi cara penjelasannya terhadap
tafsiran ayat-ayat al Qur’an), Yaitu membandingkan ayat dengan ayat yang
berbicara dalam masalah yang sama, ayat dengan hadits, antara pendapat mufasir
dengan mufasir lain.
3. Metode tafsir Ithnabi ( bila
ditinjau dari segi keluasaan penjelasan tafsirannya) Ialah penafsiran dengan
cara menafsirkan ayat al Qur’an hanya secara mendetail / rinci, dengan
uraian-uraian yang panjang lebar, sehingga cukup jelas dan terang yang banyak
disenangi oleh para cerdik pandai.
4.
Metode tafsir Tahlily (bila ditinjau dari segi sasaran dan tertib
ayat-ayat yang ditafsirkan) adalah menafsirkan ayat-ayat al Qur’an dengan cara
urut dan tertib dengan uraian ayat-ayat dan surat-surat dalam mushaf, dari awal
surat al Fatihah hingga akhir surat an-Nas.
Kitab-kitab tafsir yang ada, selain
dapat dilihat dari sisi metodologinya, juga dapat dilihat dari sisi corak penafsirannya.
Corak penafsiran adalah menafsirkan al-Qur’an dalam perspektif aliran, madzhab,
dan disiplin ilmu tertentu. Menurut al-Farmawi corak penafsiran itu dapat
dibedakan menjadi tujuh, yaitu: tafsir bi al-ma’tsur, tafsir bi al-ra’yi,
tafsir bi al-shufi, tafsir bi al-fiqhi, tafsir bi al-falsafi, tafsir bi
al-‘ilmi, dan tafsir bi al-adabi al-ijtima’i. Namun beberapa ulama’ ada
yang memasukkan corak penafsiran lainnya, yakni corak bahasa, politik, dan
corak kalam.
Berbicara tentang corak tafsir an-Nuur, dengan mencermati isi tafsir tersebut, maka dapat dikatakan tafsir ini bercorak umum. Artinya tidak mengacu pada corak atau aliran tertentu. Tidak ada corak yang dominan yang menjadi ciri khusus pada tafsir ini. Semua menggunakan pemahaman ayat secara netral tanpa membawa warna khusus seperti akidah, fikih, tasauf atau lainnya. Komentar-komentar Ash-Shiddieqiy juga bersifat netral dan tidak memihak. Suatu hal yang menarik adalah bahwa meskipun Ash-Shiddieqy juga seorang faqih yang telah banyak menulis buku-buku yang membahas tentang fikih, namun justru jika kita mencermati tafsir ini, sangat sulit kita mendapati pengaruh fikih di dalamnya.
Berbicara tentang corak tafsir an-Nuur, dengan mencermati isi tafsir tersebut, maka dapat dikatakan tafsir ini bercorak umum. Artinya tidak mengacu pada corak atau aliran tertentu. Tidak ada corak yang dominan yang menjadi ciri khusus pada tafsir ini. Semua menggunakan pemahaman ayat secara netral tanpa membawa warna khusus seperti akidah, fikih, tasauf atau lainnya. Komentar-komentar Ash-Shiddieqiy juga bersifat netral dan tidak memihak. Suatu hal yang menarik adalah bahwa meskipun Ash-Shiddieqy juga seorang faqih yang telah banyak menulis buku-buku yang membahas tentang fikih, namun justru jika kita mencermati tafsir ini, sangat sulit kita mendapati pengaruh fikih di dalamnya.
- Mekanisme penafsiran
Mekanisme atau langkah-langkah yang
ditempuh Hasbi untuk membahas ayat-ayat
al-Qur’an dalam kitab tafsir al-Nur adalah sebagai berikut:
1.
Menyebutkan satu, dua atau tiga ayat
yang masih satu pembahasan, menurut tertib mushaf.
2.
Menerjemahkan makna ayat ke dalam
bahasa Indonesia dengan cara yang mudah dipahamkan, dengan memperhatikan
makna-makna yang dikehendaki masing-masing lafal, dengan di beri judul
“Terjemahan”.
3.
Menafsirkan ayat-ayat itu dengan
menunjuk kapada sari patinya.
4.
Penafsiran masing-masing ayat dengan
didukung oleh ayat yang lain, hadits, riwayat Shahabat dan Tabi’in serta
penjelasan yang ada kaitannya dengan ayat tersebut dan tahapan ini diberi judul
“Tafsirnya”;
5.
Menerangkan sebab-sebab turun ayat,
jika diperoleh atsar yang shahih yang diakui shahihnya oleh ahli-ahli atsar
(ahli-ahli hadits).
6.
Kesimpulan, intisari dari kandungan
ayat yang diberi judul “Kesimpulan”.[3]
Diantara karyanya yang lain adalah :
- الفقه الدستوري:السياسة الدستورية الشرعية, Biro Kemahasiswaan I.A.I.N. "Sunan Kalidjaga", 1967 - 135 halaman.
- 2002 [i.e. Dua ribu dua] mutiara hadiets, Bulan Bintang, 1962 - 576 halaman.
- 2002 mutiara hadiets, Volume 1, Bulan-Bintang, 1955 - 584 halaman.
- Al-Ahkaam:Hukum-hukum fiqih Islam, Volumes 1-2, Islamyah, 1951.
- al-Islam, Bulan Bintang,", 1964.
- Al Islam: kepertjaan, kesusilaan, amal kebadjikan, Islamyah, 1969 - 636 halaman.
- al-Islâm: penuntun bathin & pembimbing masjarakat, Bulan Bintang, 1956 - 934 halaman.
- al Qurän mu'djiat jang terbesar jang tak terkalahkan: kandungan dan artinja bagi ummat Islam chususnja dan ummat manusia umumnja, s. n. - 44 halaman.
- Biografie pelopor2 pahlawan Islam, Pustaka Alhambra, 1950 - 152 halaman.
- Dasar-dasar Fiqih Islam, Tokobuku Islamyah, 1953 - 122 halaman.
- Dasar-dasar ideologi Islam, Saiful, 1953 - 181 halaman.
- Dasar-dasar kehakiman dalam pemerintahan Islam, C.V. Bulan-Bintang, 1955 - 94 halaman.
- Fakta2 keagungan sjari'at Islam, Pudjangga Islam - 40 halaman.
- Falsafah hukum Islam, Bulan Bintang, 1975 - 488 halaman.
- Fighul mawaris: hukum-hukum warisan dalam syaria̓t Islam, Bulan Bintang, 1973 - 324 halaman.
- Fiqh Islam, Attahirijah - 476 halaman.
- Fiqih Islam mempunyai daya elastis, lengkap, bulat dan tuntas, Bulan Bintang, 1975 - 168 halaman.
- Hakikat Islam dan unsur-unsur agama, Menara Kudus, 1982 - 117 halaman.
- Hukum antar golongan dalam fiqih Islam, Bulan Bintang, 1971 - 164 halaman.
- Hukum-hukum fiqih Islam: yang berkembang dalam kalangan ahlus sunnah, Bulan Bintang, 1978 - 677 halaman.
- Hukum perang dalam Ǐslam, Biro Kemahasiswaan I.A.I.N. Sunan Kalidjaga, 1967 - 91 halaman.
- Ichtisar tuntunan zakah dan fithrah, Bulan Bintang, 1958 - 64 halaman.
- Ideologi Islam dan qaedah pemerintahan, 1950 - 95 halaman.
- Ilmu2 al-Qurän: media2 pokok dalam menafsirkan al-Qurän, Bulan Bintang, 1972 - 300 halaman.
- Islam dan HAM (Hak Asasi Manusia): Dokumenter Politik Pokok-pokok Pikiran Partai Islam dalam Sidang Konsituante 4 Februari 1958, Pustaka Rizki Putra, 1999 - 93 halaman.
- Ke arah fiqh Indonesia: mengenang jasa Prof. Dr. T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, Forum Studi Hukum Islam, Fakultas Syari'ah, IAIN Sunan Kalijaga, 1994 - 158 halaman.
- Kelengkapan dasar2 fiqih Islam: pengantar ushul fiqih, Islamyah, 1953 - 207 halaman.
- Koleksi Hadits-hadits Hukum, 9 Jilid, Alma'arif, 1970.
- Kriteria antara sunnah dan bid'ah, Thinker's Library, 1986 - 160 halaman.
- Kulijah hadiets: sjarahan hadiets-hadietstasjrie' ʻibadah, Darul Irfan.
- Kullijah 'ibâdah: ibadah ditindjau dari segi hukum dan hikmah, Bulan Bintang, 1968 - 236 halaman.
- Kumpulan soal-jawab dalam post graduate course jurusan ilmu fiqh dosen2 I. A. I. N., Bulan Bintang, 1973 - 108 halaman.
- Kursus sembahjang dan do'a, Pustaka Madju - 96 halaman.
- Lapangan perjuangan wanita Islam, Menara Kudus, 1952 - 40 halaman.
- Lembaga pribadi, Madju - 175 halaman.
- Mu'djizat al-Qurän, Bulan Bintang, 1966 - 56 halaman.
- Mukhtārāt min aḥādīth al-aḥkām li-qism al-duktūrāh al-ūlá, biro Kemahasiswaan I.A.I.N. al-Djami'ah "Sunan Kalidjogo,", 1965 - 128 halaman.
- Mutiara Hadis 1 (Keimanan).
- Mutiara Hadis 2 (Thaharah & Shalat).
- Mutiara Hadis 3 (Shalat).
- Mutiara Hadis 4 (Jenazah, Zakat, Puasa, Iktikaf & Haji).
- Mutiara Hadis 5 (Nikah & Hukum Keluarga, Perbudakan, Jual Beli, Nazar & Sumpah, Pidana & Peradilan, Jihad).
- Pahala dan keutamaan ibadat, doʾa dan dzikir, Ramadhani - 78 halaman.
- Pedoman dzikir dan doʻa, Bulan Bintang, 1964 - 568 halaman.
- Pedoman Hajji, Thinker's Library, 1986 - 262 halaman.
- Pedoman hukum Sjar'y jang berkembang dalam 'alam Islamy Sunny, Volume 1, Pustaka Islam, 1956 - 382 halaman.
- Pedoman ibadat puasa, Bulan Bintang, 1954 - 144 halaman.
- Pedoman puasa, Bulan Bintang, 1963 - 208 halaman.
- Pedoman shalat, Bulan Bintang, 1963 - 478 halaman.
- Pelajaran tauhid: pokok2 ʾaqaid Islam : untuk pelajaran agama bagi sekolah2 permulaan dan umum, Madju, 1962 - 58 halaman.
- Pemindahan darah (blood transfusion) dipandang dari sudut hukum agama Islam, Bulan-Bintang, 1954 - 24 halaman.
- Pengantar hukum Islam, Bulan Bintang, 1968 - 432 halaman.
- Pengantar fiqih mu'amalah, Bulan Bintang, 1974 - 216 halaman.
- Pengantar ilmu fiqh, Bulan Bintang, 1978 - 272 halaman.
- Pengantar ilmu perbandingan madzhab, Bulan Bintang, 1975 - 92 halaman.
- Perbedaan mathlaʻ tidak mengharuskan kita berlainan hari pada memulai puasa, Ladjnah Taʻlif Wan Nasjr Fakultas Sjariʻah Institut Agama Islam Negeri Sunan Kalidjaga, 1971 - 35 halaman.
- Perbendaharaan zakat, Al-Ma'arif, 1953 - 121 halaman.
- Pidana mati (dalam syari'at Islam), Lembaga Penerbitan, Institut Agama Islam Negeri Sunan Kalijaga, 1974 - 24 halaman.
- Pokok-pokok ilmu dirajah hadiets, Bulan Bintang, 1958 - 274 halaman.
- Pokok-pokok pegangan imam-imam madzhab dalam membina hukum Islam, Bulan Bintang, 1973.
- Pokok-pokok sebab perbedaan faham para ulama/fuqoha dalam menetapkan hukum syara, Ramadhani, 1973 - 24 halaman.
- Polygami, menurut hukum Islam, C.V. "Bulan-Bintang", 1955 - 20 halaman.
- Problematika bulan Ramadhan, Menara Kudus, 1972 - 59 halaman.
- Problematika hadits sebagai dasar pembinaän hukum Islam, Bulan Bintang, 1964 - 63 halaman.
- Problematika 'iedul fithri, Menara Kudus, 1972 - 34 halaman.
- Ridjalul hadiets: biographi 7 shahabi dan 18 tabi'in jang terkemuka dalam lapangan hadiets : kullijah hadiets, Biro Kemahasiswaan IAIN al-Djami'ah Jogjakarta - 155 halaman.
- Sedjarah dan pengantar 'ilmu al-Qurän/tafsir, Bulan Bintang, 1965 - 272 halaman.
- Sedjarah dan pengantar ilmu hadits, Bulan Bintang, 1965 - 276 halaman.
- Sedjarah dan pengantar ilmu tafsir, Bulan-Bintang, 1955 - 180 halaman.
- Sedjarah dan perdjuangan 40 pahlawan utama dalam Islam, Pustaka Islam, 1955 - 119 halaman.
- Sedjarah kehakiman dalam pemerintahan2 Islam, Islamyah, 1950 - 76 halaman.
- Sedjarah peradilan Islam, Biro Kemahasiswaan I.A.I.N., al-Djamilah - 106 halaman.
- Sedjarah petumbuhan dan perkembangan hukum Islam, Bulan Bintang, 1971 - 288 halaman.
- Syari'at Islam adalah syari'at dunia dan kemanusiaan, Ramadhani, 1972 - 61 halaman.
- Sjari'at Islam mendjawab tantangan zaman, Bulan Bintang, 1966 - 48 halaman.
- Tafsir al-Bayaan, Alma'arif, 1966.
- Tafsir al Qurânul majied "An Nur", Bulan Bintang, 1976.
- Tafsir al-Qur'anul Majid an-Nuur: Surat 42-114, Pustaka Rizki Putra, 2000 - 4760 halaman.
- Tafsier al-Qurânul madjied "An-Nur", Volume 3, Bulan Bintang, 1967.
- Tafsir al-Qurânul madjied "An-Nur", Volume 4, Bulan Bintang, 1965.
- Tafsir al-Qurânul madjied "An-Nur", Volume 5, Bulan Bintang, 1965.
- Tafsir al-Qurânul madjied "An-Nur", Volume 6, Bulan Bintang, 1965.
- Tafsier al-Qurânul madjied "An-Nur", Volume 25, Bulan Bintang.
- Tuntunan zakah dan fithrah:tjaranja memberi, menerima dan membagi, slamijah, 1949 - 69 halaman.
- Tuntutan qurban, 1966 - 68 halaman.(wikipedia,2013)
4.
Pemikiran
Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy
Hasbi
ash-Shiddieqy berpendirian bahwa syariat Islam bersifat dinamis dan elastis,
sesuai dengan perkembangan masa dan tempat. Ruang lingkupnya
mencakup segala aspek kehidupan manusia, baik dalam hubungannya dengan sesama
maupun dengan Tuhannya. Syariat Islam yang bersumber dari wahyu Allah SWT., ini
kemudian dipahami oleh umat Islam melalui metode ijtihad untuk dapat
mengantisipasi setiap perkembangan yang timbul dalam masyarakat. Ijtihad inilah
yang kemudian melahirkan fiqh. Banyak kitab fiqh yang ditulis oleh ulama
mujtahid. Di antara mereka yang terkenal adalah imam-imam mujtahid pendiri mazhab
yang empat: Abu Hanifah, Malik, asy-Syafi’i dan Ahmad Hanbal.
Akan
tetapi menurut Hasbi ash-Shiddieqy, banyak umat Islam, khususnya
di Indonesia, yang tidak membedakan antara syariat yang langsung berasal dari
Allah SWT, dan fiqh yang merupakan pemahaman ulama mujtahid terhadap syariat
tersebut. Selama ini terdapat kesan bahwa umat Islam Indonesia cenderung
menganggap fiqh sebagai syariat yang berlaku absolut. Akibatnya, kitab-kitab
fiqh yang ditulis imam-imam mazhab dipandang sebagai sumber syariat, walaupun
terkadang relevansi pendapat imam mazhab tersebut ada yang perlu diteliti dan
dikaji ulang dengan konteks kekinian, karena hasil ijtihad mereka tidak
terlepas dari situasi dan kondisi sosial budaya serta lingkungan geografis
mereka. Tentu saja hal ini berbeda dengan kondisi masyarakat kita sekarang.
Menurutnya,
hukum fiqh yang dianut oleh masyarakat Islam Indonesia banyak yang tidak sesuai
dengan kepribadian bangsa Indonesia. Mereka cenderung memaksakan keberlakuan fiqh imam-imam mazhab tersebut.
Sebagai alternatif terhadap sikap tersebut, ia mengajukan gagasan perumusan
kembali fiqh Islam yang berkepribadian Indonesia. Menurutnya, umat Islam harus
dapat menciptakan hukum fiqh yang sesuai dengan latar belakang sosiokultur dan
religi masyarakat Indonesia. Namun begitu, hasil ijtihad ulama masa lalu bukan
berarti harus dibuang sama sekali, melainkan harus diteliti dan dipelajari
secara bebas, kritis dan terlepas dari sikap fanatik. Dengan demikian, pendapat
ulama dari mazhab manapun, asal sesuai dan relevan dengan situasi masyarakat
Indonesia, dapat diterima dan diterapkan.
Untuk
usaha ini, ulama harus mengembangkan dan menggalakkan ijtihad. Hasbi
ash-Shiddieqy menolak pandangan bahwa pintu ijtihad tidak pernah tertutup,
karena ijtihad adalah suatu kebutuhan yang tidak
dapat dielakkan dari masa ke masa. Menurutnya, untuk menuju fiqh Islam yang
berwawasan ke Indonesiaan, ada tiga bentuk ijtihad yang perlu dilakukan.
Pertama,
ijtihad dengan mengklasifikasi hukum-hukum produk
ulama mazhab masa lalu. Ini dimaksudkan agar dapat dipilih pendapat yang masih
cocok untuk diterapkan dalam masyarakat kita.
Kedua,
ijtihad dengan mengklasifikasi hukum-hukum yang
semata-mata didasarkan pada adat kebiasaan dan suasana masyarakat di mana hukum
itu berkembang. Hukum ini, menurutnya, berubah sesuai dengan perubahan masa dan
keadaan masyarakat. Ketiga, ijtihad dengan mencari hukum-hukum terhadap masalah
kontemporer yang timbul sebagai akibat dari kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi, seperti transplantasi organ tubuh, bank, asuransi, bank, air susu
ibu, dan inseminasi buatan.
Karena
kompleksnya permasalahan yang terjadi sebagai dampak kemajuan peradaban, maka
pendekatan yang dilakukan untuk mengatasinya tidak bisa terpilah-pilah pada bidang tertentu saja.
Permasalahan ekonomi, umpamanya, akan berdampak pula pada aspek-aspek lain.
Oleh karena itu, menurutnya ijtihad tidak dapat terlaksana dengan efektif kalau
dilakukan oleh pribadi-pribadi saja. Hasbi ash-Shiddieqy menawarkan gagasan
ijtihad jama’i (ijtihad kolektif). Anggotanya tidak hanya dari kalangan ulama,
tetapi juga dari berbagai kalangan ilmuwan muslim lainnya, seperti ekonom,
dokter, budayawan, dan politikus, yang mempunyai visi dan wawasan yang tajam
terhadap permasalahan umat Islam. Masing-masing mereka yang duduk dalam lembaga
ijtihad kolektif ini berusaha memberikan kontribusi pemikiran sesuai dengan
keahlian dan disiplin ilmunya. Dengan demikian, rumusan ijtihad yang diputuskan
oleh lembaga ini lebih mendekati kebenaran dan jauh lebih sesuai dengan
tuntutan situasi dan kemaslahatan masyarakat. Dalam gagasan ijtihad ini ia
memandang urgensi metodologi pengambilan dan penetapan hukum (istinbath) yang
telah dirumuskan oleh ulama seperti qias, istihsan, maslahah mursalah
(maslahat) dan urf.
Lewat
ijtihad kolektif ini, umat Islam Indonesia dapat merumuskan sendiri fiqh yang
sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia. Rumusan fiqh tersebut tidak harus
terikat pada salah satu mazhab, tetapi merupakan
penggabungan pendapat yang sesuai dengan keadaan masyarakat. Dan memang, menurutnya
hukum yang baik adalah yang mempertimbangkan dan memperhatikan kondisi sosial,
ekonomi, budaya, adat-istiadat, dan kecenderungan masyarakat yang bersangkutan.
Hasbi ash-Shiddieqy bahkan menegaskan bahwa dalam sejarahnya banyak kitab fiqh
yang ditulis oleh ulama yang mengacu kepada adat-istiadat (urf) suatu daerah.
Contoh paling tepat dalam hal ini adalah pendapat Imam asy-Syafi’i yang berubah
sesuai dengan lingkungan tempat tinggalnya. Pendapatnya ketika masih di Irak
(qaul qadim/pendapat lama) sering berubah ketika ia berada di Mesir (qaul
jadid/pendapat baru) karena perbedaan lingkungan dan adat-istiadat kedua
daerah.
Selain
pemikiran di atas, ia juga melakukan ijtihad untuk menjawab permasalahan hukum
yang muncul dalam masyarakat. Dalam persoalan zakat, umpamanya, pemikiran
ijtihad Hasbi ash-Shiddieqy tergolong modern dan maju. Secara umum ia
sependapat dengan jumhur ulama yang mengatakan bahwa yang menjadi objek zakat
adalah harta, bukan orang. Oleh karena itu, dari harta anak kecil yang belum mukalaf
yang telah sampai nisabnya wajib dikeluarkan zakatnya oleh walinya.
Hasbi
ash-Shiddieqy memandang bahwa zakat adalah ibadah sosial yang bertujuan untuk
menjembatani jurang antara yang kaya dan yang miskin . Oleh sebab itu ia
berpendapat bahwa zakat dapat dipungut dari non muslim (kafir kitabi) untuk
diserahkan kembali demi kepentingan mereka sendiri. Ia mendasarkan pendapatnya
pada keputusan Umar ibn al-Khaththab (581-644 M.), khalifah kedua setelah Nabi
Muhammad saw. wafat, untuk memberikan zakat kepada kaum zimmi atau ahluz zimmah
(orang-orang non muslim yang bertempat tinggal di wilayah negara Islam) yang
sudah tua dan miskin. Umar juga pernah memungut zakat dari orang Nasrani Bani
Tughlab. Pendapat ini dilandasi oleh prinsip pembinaan kesejahteraan bersama
dalam suatu negara, tanpa memandang agama dan golongannya.
Menurut
Hasbi ash-Shiddieqy, karena fungsi sosial zakat adalah untuk mengentaskan
kemiskinan, maka prinsip keadilan haruslah diutamakan dalam pemungutan zakat.
Ia berpendapat bahwa standarisasi ukuran nisab sebagai syarat wajib perlu
ditinjau ulang. Ia memahami ukuran nisab tidak secara tekstual, yaitu sebagai
simbol-simbol bilangan yang kaku. Ia menandaskan bahwa nisab zakat memang telah
diatur dan tidak dapat diubah menurut perkembangan zaman. Akan tetapi, standar
nisab ini harus diukur dengan emas, yaitu 20 miskal atau 90 gram emas.
Menurutnya, emas dijadikan standar nisab karena nilainya stabil sebagai alat
tukar.
Sejalan
dengan tujuannya untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat, ia memandang bahwa
pemerintah sebagai ulil-amri (penguasa pemerintahan di negara Islam) dapat
mengambil zakat secara paksa terhadap orang yang enggan membayarnya. Ia juga
berpendapat bahwa pemerintah hendaknya membentuk sebuah dewan zakat (baitulmal)
untuk mengkoordinasi dan mengatur pengelolaan zakat. Dewan ini haruslah berdiri
sendiri, tidak dimasukkan dalam Depertemen Keuangan atau perbendaharaan negara.
Karena pentingnya masalah zakat ini, ia mengusulkan agar pengaturannya
dituangkan dalam bentuk undang-undang yang mempunyai kekuatan hukum.
Ada beberapa sisi menarik pada diri
Muhammad Hasbi, antara lain:
Pertama, ia adalah seorang otodidak.
Pendidikan yang ditempuhnya dari dayah ke dayah, dan hanya satu setengah tahun
duduk di bangku sekolah Al Irsyad (1926). Dengan basis pendidikan formal
seperti itu, ia memperlihatkan dirinya sebagai seorang pemikir. Kemampuannya
selaku seorang intelektual diakui oleh dunia internasional. Ia diundang dan
menyampaikan makalah dalam Internasional Islamic Colloquium yang diselenggarakan
di Lahore Pakistan (1958). Selain itu, berbeda dengan tokoh-tokoh lainnya di
Indonesia, ia telah mengeluarkan suara pembaharuan sebelum naik haji atau
belajar di Timur Tengah.
Kedua, ia mulai bergerak di Aceh, di
lingkungan masyarakat yang dikenal fanatik, bahkan ada yang menyangka “angker”.
Namun Hasbi pada awal perjuangannya berani menentang arus. Ia tidak gentar dan
surut dari perjuangannya kendatipun karena itu ia dimusuhi, ditawan dan
diasingkan oleh pihak yang tidak sepaham dengannya.
Ketiga, dalam berpendapat ia merasa
dirinya bebas tidak terikat dengan pendapat kelompoknya. Ia berpolemik dengan
orang-orang Muhammadiyah dan Persis, padahal ia juga anggota dari kedua
perserikatan itu. Ia bahkan berani berbeda pendapat dengan jumhur ulama, sesuatu
yang langka terjadi di Indonesia.
Keempat, ia adalah orang pertama di
Indonesia yang sejak tahun 1940 dan dipertegas lagi pada tahun 1960, menghimbau
perlunya dibina fiqh yang berkepribadian Indonesia. Himbauan ini menyentak
sebagian ulama Indonesia. Mereka angkat bicara menentang fiqh (hukum in
concreto) di-Indonesia-kan atau dilokalkan. Bagi mereka, fiqh dan syariat
(hukum in abstracto) adalah semakna dan sama-sama universal. Kini setelah
berlalu tigapuluh lima tahun sejak 1960, suara-suara yang menyatakan masyarakat
muslim Indonesia memerlukan “fiqh Indonesia” terdengar kembali. Namun sangat
disayangkan, mereka enggan menyebut siapa penggagas awalnya. Mencatat penggagas
awal dalam sejarah adalah suatu kewajiban, demi tegaknya kebenaran sejarah.
Pada tanggal 9 Desember 1975,
setelah beberapa hari memasuki karantina haji, dalam rangka menunaikan ibadah
haji, beliau berpulang ke rahmatullah, dan jasad beliau dimakamkan di pemakaman
keluarga IAIN Ciputat Jakarta. Pada upacara pelepasan jenazah almarhum, turut
memberi sambutan almarhum Buya Hamka, dan pada saat pemakaman beliau dilepas
oleh almarhum Mr. Moh. Rum. Naskah terakhir yang beliau selesaikan adalah Pedoman Haji yang kini telah banyak beredar di
masyarakat luas.(sabrial ,2007)
5.
Corak
Penafsiran Muhammad Hasbi Ash-Shidieqy
Corak penafsiran adalah menafsirkan
al-qur’an dalam perspektif aliran, mazhab dan disiplin ilmu tertentu. Adapun
metode penafsiran yang digunakan oleh Hasbi adalah sebagai berikut:
1. Metode
tafsir bi al-izdiwaji(perpaduan antara bi al manqul dan bi al ma’qul) bila
ditinjau dari segi penafsirannya adalah: cara menafirkan al-qur’an yang
didasarkan atas perpaduan sumber tafsir riwayah yang kuat dan shahih dengan
sumber hasil ijtihad pikiran yang sehat.
2. Metode
tafsir muqarin/komparasi(bila ditinjau dari segi cara penjelasannya terhadap
tafsiran ayat-ayat al-qur’an) yaitu membandingkan ayat dengan ayat yang
membicarakan masalah yang sama, ayat dengan hadits, antara pendapat para
mufasir dengan mufasir lain.
3. Metode
tafsir ithnabi (bila ditinjau dari segi keluasan penjelasan tafsirannya) ialah
penafsiran dengan cara menafsirkan ayat al-qur’an hanya secara mendetail/rinci,
dengan uraian-uraian yang panjang lebar sehingga cukup jelas dan terang yang
banyak disenangi oleh para cerdik pandai.
4. Metode
tafsir Tahlily (bila ditinjau dari segi sasaran dan tertib ayat-ayat yang
ditafsirkan) adaah menafsirkan ayat-ayat al-qur’an dengan cara urut dan tertib
dengan uraian ayat-ayat dan surat-surat dalam mushaf, dari awal surat
al-fatihah sampai akhir surat an-nas.
Berbicara
tentang corak tafsir an-nuur, dengan mencermati isi tafsir tersebut, maka dapat
dikatakan corak tafsir ini bersifat umum.
Artinya tidak mengacu pada corak atau aliran tertentu. Tidak ada corak
yang dominan yang menjadi ciri khusus pada tafsir ini. Semua menggunakan
pemahaman ayat secara netral tanpa membawa warna khusus seperti akidah, fikih,
tasawuf atau lainnya. Komentar-komentar Hasbi Ash-Shiddieqy juga bersifat netral
dan tidak memihak. Mekanisme atau
langkah-langkah yang ditempuh Hasbi untuk membahas ayat-ayat al-qur’an a dalam
kitab tafsir an-nuur adalah sebagai berikut:
1. Menyebutkan
satu, dua atau tiga ayat yang masih satu pembahasan, menurut tertib mushaf.
2. Menerjemahkan
ayat kedalam bahasa indonesia dengan cara yang mudah dipahamkan, dengan
memperhatikan makna-makna yang dikehendaki masing-masing lafal, dengan diberi
judul “terjemahan”
3. Menafsirkan
ayat-ayat itu dengan menunjuk kepada sari patinya.
4. Penafsiran
masing –masing ayat dengan didukung oleh ayat yang lain, hadits, riwayat
sahabat dan tabi’in serta penjelasan yang ada kaitannya dengan ayat tersebut
dan ayatnya diberi judul “tafsirnya”
5. Menerangkan
sebab-sebab turun ayat, jika diperoleh atsar yanag shahih yang diakui shahihnya
oleh ahli-ahli atsar (ahli-ahli hadits)
6. Kesimpulan,
intisari dari kandungan ayat.(ahmad saefulloh,2013)
BAB III
KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat ditarik dari
seorang ulama Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy antara lain:
1. Pertama, ia adalah seorang otodidak.
Pendidikan yang ditempuhnya dari dayah ke dayah, dan hanya satu setengah tahun
duduk di bangku sekolah Al Irsyad (1926). Dengan basis pendidikan formal
seperti itu, ia memperlihatkan dirinya sebagai seorang pemikir. Kemampuannya
selaku seorang intelektual diakui oleh dunia internasional.
2. Kedua, ia mulai bergerak di Aceh, di
lingkungan masyarakat yang dikenal fanatik, bahkan ada yang menyangka “angker”.
Namun Hasbi pada awal perjuangannya berani menentang arus. Ia tidak gentar dan
surut dari perjuangannya kendatipun karena itu ia dimusuhi, ditawan dan
diasingkan oleh pihak yang tidak sepaham dengannya.
3. Ketiga, dalam berpendapat ia merasa
dirinya bebas tidak terikat dengan pendapat kelompoknya.
4. Keempat, ia adalah orang pertama di
Indonesia yang sejak tahun 1940 dan dipertegas lagi pada tahun 1960, menghimbau
perlunya dibina fiqh yang berkepribadian Indonesia.
5. salah satu karya tafsir beliau
adalah tafsir an-nuur yang beliau karang sejak tahun 1950.tafsir an-nuur ini
beliau susun berdasarkan tertib mushaf, dengan mengumpulkan beberapa ayat yang
sepokok pembahasan, menerjemahkan ke dalam bahasa indonesia, menafsirkan ayat
berdasarkan sari patinya, mencantumkan ayat lain yang setema, hadits maupun
pendapat para ulama, menyebutkan asbab al nuzul jika ada dan yang terakhir
memberi kesimpulan. Tafsir an-nuur ini tidak memiliki corak tertentu (netral).
[1] Badiatul Raziqin dkk, 101 Jejak Tokoh Islam Indonesia,
(Yogyakarta: e-Nusantara, 2009), h. 242. Lihat juga di Dewan Penyusun
Ensiklopedi, Ensiklopedi Islam 2, (Jakarta: PT. Ikhtiar Baru Van Hoeve,
2003), h. 94