Minggu, 24 November 2013

Makalah Biografi Teuku Muhammad Hasbi ash-Shidieqy



Makalah Biografi Teuku Muhammad Hasbi ash-Shidieqy

BAB I
PENDAHULUAN
1.        Latar Belakang
Teuku Muhammad Hasbi ash-Shidieqy merupakan salah seorang cendekiawan muslim Indonesia yang mahir dalam bidang fiqih, hadits, dan al-Qur’an. Berbicara tentang perkembangan tafsir di Indonesia akan kurang lengkap kiranya kalau tidak membahas tentang beliau. Hal ini dikarenakan beliau termasuk pelopor penerjemahan al-Qur’an dengan bahasa Indonesia. Beliau menerjemahkan al-Qur’an dengan bahasa Indonesia karena beliau melihat banyak masyarakat Islam Indonesia yang ingin memahami tafsir tetapi terkendala oleh kemampuan bahasa arab yang mereka miliki. Sebagaimana yang juga kita ketahui bahwasanya kitab tafsir yang mu’tabar mayoritas berbahasa Arab. Salah satu karya tafsir beliau adalah tafsir al-Qur’anul Majid al-Nur. Tafsir ini beliau tulis antara tahun 1950-1970 M saat para ulama’ Saudi mengharamkan penerjemahan al-Qur’an kepada selain bahasa Arab.
Untuk itulah melalui makalah singkat ini penulis akan membahas bagaimana sosok Teuku Muhammad Hasbi ash-Shidieqy dalam pemikiran-pemikiran beliau. Hal ini sangat menarik, karena sangat jarang tokoh-tokoh di indonesia memiliki kemampuan dalam menafsirkan al-Qur’an seperti beliau
2.        Rumusan Masalah
Dalam makalah ini ada beberapa hal yang akan dibahas, diantaranya
1.      Bagaimana Biografi Teuku Muhammad Hasbi ash-Shidieqy ?
2.      Bagaimana sejarah pendidikan Teuku Muhammad Hasbi ash-Shidieqy ?
3.      Apa saja karya-karya Teuku Muhammad Hasbi ash-Shidieqy ?
4.      Bagaimana pemikiran Teuku Muhammad Hasbi ash-Shidieqy ?


3.        Tujuan
Adapun Tujuan dari Makalah ini adalah untuk mengetahui:
1.      Bagaimana Biografi Teuku Muhammad Hasbi ash-Shidieqy
2.      Bagaimana sejarah pendidikan Teuku Muhammad Hasbi ash-Shidieqy
3.      Apa saja karya-karya Teuku Muhammad Hasbi ash-Shidieqy
4.      Bagaimana pemikiran Teuku Muhammad Hasbi ash-Shidieqy


















BAB II
PEMBAHASAN

1.      Biografi Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy
Teuku Hasbi lahir di Lhokseumawe, Aceh Utara, pada 10 maret 1904. Nama aslinya Muhammad Hasbi ash-Shidieqy. Nama “ash-Shidieqy” menisbatkan namanya kepada nama Abu Bakar ash-Shidieq, karena Teuku Hasbi memiliki kaitan nasab (garis keturunan) dengan shahabat Nabi Muhammad saw itu melalui ayahnya, Teuku Muhammad Hussein Ash-Shidieqy atau yang dikenal pula dengan Teuku Kadi Sri Maharaja Mangkubumi Hussein bin Mas’ud. Ibunya bernama Teuku Amrah binti Sri Maharaja Mangkubumi Abdul Aziz.[1] Walaupun lahir dari keluarga ulama’ terkenal di Aceh, Teuku Hasbi tidak terlena dengan nama besar yang disandang keluarganya. Sejak kecil beliau terbiasa untuk hidup prihatin. Apalagi sejak kanak-kanak beliau telah menjadi piatu karena ibunya meninggal pada tahun 1910 ketika beliau berumur 6 tahun.sepeninggal ibunya Hasbi kecil diasuh oleh Teuku Syamsiyah, saudara ibunya yang tidak berputra. Setelah bibinya wafat Teuku Hasbi tinggal dirumah kakaknya, sampai kemudian ia pergi nyantri dari satu pesantren ke pesantren lainnya.[2]

2.      Pendidikan Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy
Pada awalnya, Hasbi Ash-Shiddieqy belajar qira’ah dan tajwid serta dasar-dasar tafsir dan fiqih pada ayahnya sendiri, dan dalam usianya delapan tahun ia telah khatam mengaji al-Qur’an. Setelah memperoleh ilmu-ilmu keagamaan dari ayahnya,ia nyantri di pesantren-pesantren. Pada tahun 1912, ia nyantri di pesantren Tengku Piyeunga; pada tahun 1913, aia nyantri di pesantren Bluk Bayu; pada tahun 1914, ia nyantri di pesantren Blang Kabu; pada tahun 1916, nyantri di pesantren tengku Idris; pada tahun 1918 dipesantren tengku Chik Hasan. Selanjutnya, pada tahun 1920 dari tengku Chik Hasan Kruengkale, TM Hasbi Ash Shiddieqy memperoleh syahadah sebagai pernyataan bahwa ilmunya telah cukup dan berhak untuk membuka pesantren sendiri.
Pada tahun 1926, Hasbi Ash Shiddieqy bersama Syaikh al-Kalali berangkat ke Surabaya untuk melanjutkan pendidikan di madrasah al-Irsyad (sebuah organisasi keagamaan yang didirikan oleh Syeikh Ahmad Soorkati (1874 – 1943), seorang ulama yang berasal dari Sudan. Setelah di tes, ia dapat diterima di jenjang takhassus (spesiallisasi) dalam bidang pendidikan dan bahasa. Setelah belajar di al-Irsyad ia mengembangkan dan memperkaya diri dengan ilmu melalui belajar sendiri (otodidak). Baginya,buku adalah buku terbaik.
Pada tahun 1960, Hasbi Ash Shiddieqy memperoleh dua gelar doktor Honoris Causa sekaligus. Dr. HC pertama ia peroleh dari Unisba (Uniersitas Bandung) dan Dr. HC yang kedua ia terima dari PTAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, yang sekarang ini telah berubah status menjadi UIN Sunan Kalijaga. Dengan penganugrahan Dr. HC ini, Hasbi kemudian mengajar beberapa mata kuliah di kedua perguruan tinggi tersebut.
Pada tahun 1966, Hasbi Ash Shiddieqy dikukuhkan sebagai guru besar di PTAIN Sunan Kalijaga dalam bidang keilmuan Hadits dan Hukum Islam. Selanjutnya ia menjabat Dekan pada Fakultas Syari’ah sampai tahun 1972.
Hasbi Ash Shiddieqy juga mengajar dan memangku jabatan struktural pada perguruan tinggi-perguruan tinggi islam swasta. Dalam hal ini, pada tahun 1961 sampai 1971, dia juga menjabat Rektor Universitas Al-Irsyad di Surakarta; pada tahun 1964, ia mengajar di Universitas Islam Indonesia (UII) di Yogyakarta; pada tahun 1967 ia mengajar dan menjabat dekan Fakultas Syari’ah Unissula (Universitas Islam di Sultan Agung) di Semarang. Di samping itu, Hasbi juga pernah terpasang namanya sebagai dosen di universitas Muslim Indonesia (UMI) Makasar dalam kurun waktu tahun 1960-an.
Memasuki tahun 1975 Hasbi Ash Shiddieqy menjalani perawatan inap di Rumah Sakit Islam Jakarta dan tepatnya pada hari senin, 9 desember 1975, pukul 17.45, Hasbi wafat. Jika kembali ditelusuri tahun kelahirannya (1904) dan tahun wafatnya (1975), maka diketahui bahwa Hasbi berusia 71 tahun.(Mushlihin Al-Hafizh,2011)
3.      Karya Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy
Semasa hidupnya, hasbi Ash Shiddieqy aktif menulis. Dia telah banyak mewariskan berbagai karya ilmiah dan telah mencetak generasi ulama dan intelektual fiqih indonesia. Murid-murid hasbi yang perlu dicatat disini adalah Ali Hasjmiy, Isma’il ya’qub, Nouruzzaman Shiddieqy, rasdiyanah Amir dan lain-lain. Sepeninggal Hasbi Ash Shiddieqy, muncul sebuah buku yang berjudul Fiqih Indonesia;Penggagas dan Gagasannya yang ditulis Nourouzzaman Shiddiqi. Buku ini menempatkan Hasbi sebagai tokoh utama penggagas fiqih yang berwawasan indonesia.(Mushlihin Al-Hafizh,2011)
            Menurut catatan, karya tulis yang telah dihasilkan oleh Hasbi Ash Shiddieqy berjumlah 73 judul buku, terdiri dari 142 jilid dan 50 artikel. Sebagian besar karyanya adalah buku-buku fiqih yang berjumlah 36 judul. Karya Hasbi paling fenomenal adalah Tafsir an-Nur. Sebuah tafsir al-Qur`an 30 juz dalam bahasa Indonesia. Karya ini fenomenal karena tidak banyak ulama Indonesia yang mampu menghasilkan karya tafsir semacam itu.
Berikut akan kita bahas secara ringkas tentang Tafsir An-Nur karya Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy.
  1. Mengenal Tafsir An-Nur
Tafsir al-Nur merupakan salah satu karya monumental dari T.M. Hasbi ash-Shidieqy. Beliau merampungkan penafsiran seluruh al-Qur’an, 30 juz. Kadangkala tafsir al-Nur ini diterbitkan perjilid sejumlah juz al-Qur’an. Setiap jilidnya kurang lebih mencapai 200 halaman. Di lain kesempatan, karya tafsir beliau ini diterbitkan menjadi 10 jilid, yang mana masing-masing jilid memuat 3 juz. Di penerbit yang lain tafsir ini diterbitkan dalam  5 jilid; jilid 1 terdiri dari 4 surat pertama, jilid 2 terdiri dari 6 surat berikutnya, jilid 3 terdiri dari 12 surat berikutnya, jilid 4 terdiri dari 17 surat berikutnya, dan jilid 5 terdiri dari 72 surat yang terakhir. Kemungkinan besar, tafsir beliau ini ditulis antara tahun 1950 M-1970 M.
  1. Latar Belakang Penulisan
Pada kata pengantar Tafsir An-Nur, beliau mengatakan :
Indonesia membutuhkan perkembangan tafsir dalam bahasa persatuan Indonesia, maka untuk memperbanyak lektur Islam dalam masyarakat Indonesia dan untuk mewujudkan suatu tafsir yang sederhana yang menuntun para pembacanya kepada pemahaman ayat dengan perantaraan ayat-ayat itu sendiri. Sebagaimana Allah telah menerangkan ; bahwa Al-Qur’an itu setengahnya menafsirkan yang setengahnya, yang meliputi penafsiran-penafsiran yang diterima akal berdasarkan pentakhwilan ilmu dan pengetahuan, yang menjadikan intisari pendapat para ahli dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan yang diisyaratkan Al-Qur’an secara ringkas. Dengan berharap taufiq dan inayah yang maha pemurah lagi maha penyayang, kemudian dengan berpedoman kepada kitab-kitab tafsir yang mu’tabar, kitab-kitab hadits yang mu’tamad, kitab-kitab sirah yang terkenal. Saya menyusun kitab tafsir in dengan saya namai “An-Nur.
Dari ungkapan di atas dapat kita ketahui bahwa motivasi Hasbi Ash-Shiddieqy sangat mulia yaitu untuk memenuhi hajat orang Islam di Indonesia untuk mendapatkan tafsir dalam Bahasa Indonesia yang lengkap, sederhana dan mudah dipahami.
Hal ini tidak lepas dari kitab-kitab tafsir yang mu’tabar yang ada mayoritas berbahasa arab. Sehingga orang-orang yang kurang menguasai bahasa arab dan ingin memahami tafsir akan sangat kesulitan apabila harus merujuk kepada kitab tafsir yang berbahasa arab.

  1. Sumber Penafsiran
Dalam menyusun kitab tafsir al-Nur ini, Hasbi ash-Shiddieqy banyak berlandaskan pada sumber-sumber ayat al-Qur’an, riwayat Nabi SAW, riwayat sahabat dan tabiin serta mengutip dari rujukan-rujukan mu`tabar, di antaranya tafsir Jami` al-Bayan karya ath-Thabari, Tafsir al-Qur’an al-`Azhim karya Ibnu Katsir, tafsir al-Qurthubi, tafsir al-Kasysyaf karya az-Zamakhsyari, dan at-Tafsir al-Kabir karya Fakhruddin ar-Razi. Tidak hanya tafsir klasik, tafsir ulama muta’akhkhirin juga menjadi sumber ash-Shiddieqy, seperti, tafsir al-Manar karya Muhammad Rasyid Ridha, tafsir al-Maraghi, tafsir al-Qasimi, dan tafsir al-Wadhih. Selain kitab-kitab tafsir, ia juga merujuk kepada kitab-kitab induk hadis yang mu`tamad (dipercaya), semisal, kitab Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim, dan kitab-kitab as-Sunan dan juga kitab-kitab sirah yang terkenal.
  1. Metode dan Corak Penafsiran
Adapun secara rinci metode penafsiran yang digunakan oleh Hasbi di dalam tafsir al-Nur berdasarkan pembagian metode yang di lakukan Abdul Jalal adalah sebagai berikut:
1.        Metode tafsir bi al-izdiwaji (perpaduan antara bi al Manqul dan bi al Ma’qul) (bila ditinjau dari segi sumber penafsirannya): Adalah cara menafsirkan al Qur’an yang didasarkan atas perpaduan antara sumber tafsir riwayah yang kuat dan dan shahih dengan sumber hasil ijtihad pikiran yang sehat.
2.        Metode tafsir Muqarin/komparasi (bila ditinjau dari segi cara penjelasannya terhadap tafsiran ayat-ayat al Qur’an), Yaitu membandingkan ayat dengan ayat yang berbicara dalam masalah yang sama, ayat dengan hadits, antara pendapat mufasir dengan mufasir lain.
3.        Metode tafsir Ithnabi ( bila ditinjau dari segi keluasaan penjelasan tafsirannya) Ialah penafsiran dengan cara menafsirkan ayat al Qur’an hanya secara mendetail / rinci, dengan uraian-uraian yang panjang lebar, sehingga cukup jelas dan terang yang banyak disenangi oleh para cerdik pandai.
4.         Metode tafsir Tahlily (bila ditinjau dari segi sasaran dan tertib ayat-ayat yang ditafsirkan) adalah menafsirkan ayat-ayat al Qur’an dengan cara urut dan tertib dengan uraian ayat-ayat dan surat-surat dalam mushaf, dari awal surat al Fatihah hingga akhir surat an-Nas.

Kitab-kitab tafsir yang ada, selain dapat dilihat dari sisi metodologinya, juga dapat dilihat dari sisi corak penafsirannya. Corak penafsiran adalah menafsirkan al-Qur’an dalam perspektif aliran, madzhab, dan disiplin ilmu tertentu. Menurut al-Farmawi corak penafsiran itu dapat dibedakan menjadi tujuh, yaitu: tafsir bi al-ma’tsur, tafsir bi al-ra’yi, tafsir bi al-shufi, tafsir bi al-fiqhi, tafsir bi al-falsafi, tafsir bi al-‘ilmi, dan tafsir bi al-adabi al-ijtima’i. Namun beberapa ulama’ ada yang memasukkan corak penafsiran lainnya, yakni corak bahasa, politik, dan corak kalam.
Berbicara tentang corak tafsir an-Nuur, dengan mencermati isi tafsir tersebut, maka dapat dikatakan tafsir ini bercorak umum. Artinya tidak mengacu pada corak atau aliran tertentu. Tidak ada corak yang dominan yang menjadi ciri khusus pada tafsir ini. Semua menggunakan pemahaman ayat secara netral tanpa membawa warna khusus seperti akidah, fikih, tasauf atau lainnya. Komentar-komentar Ash-Shiddieqiy juga bersifat netral dan tidak memihak. Suatu hal yang menarik adalah bahwa meskipun Ash-Shiddieqy juga seorang faqih yang telah banyak menulis buku-buku yang membahas tentang fikih, namun justru jika kita mencermati tafsir ini, sangat sulit kita mendapati pengaruh fikih di dalamnya
.
  1. Mekanisme penafsiran
Mekanisme atau langkah-langkah yang ditempuh Hasbi untuk membahas ayat-ayat al-Qur’an dalam kitab tafsir al-Nur adalah sebagai berikut:
1.      Menyebutkan satu, dua atau tiga ayat yang masih satu pembahasan, menurut tertib mushaf.
2.      Menerjemahkan makna ayat ke dalam bahasa Indonesia dengan cara yang mudah dipahamkan, dengan memperhatikan makna-makna yang dikehendaki masing-masing lafal, dengan di beri judul “Terjemahan”.
3.      Menafsirkan ayat-ayat itu dengan menunjuk kapada sari patinya.
4.      Penafsiran masing-masing ayat dengan didukung oleh ayat yang lain, hadits, riwayat Shahabat dan Tabi’in serta penjelasan yang ada kaitannya dengan ayat tersebut dan tahapan ini diberi judul “Tafsirnya”;
5.      Menerangkan sebab-sebab turun ayat, jika diperoleh atsar yang shahih yang diakui shahihnya oleh ahli-ahli atsar (ahli-ahli hadits).
6.      Kesimpulan, intisari dari kandungan ayat yang diberi judul “Kesimpulan”.[3]
Diantara karyanya yang lain adalah :
  1. الفقه الدستوري:السياسة الدستورية الشرعية, Biro Kemahasiswaan I.A.I.N. "Sunan Kalidjaga", 1967 - 135 halaman.
  2. 2002 [i.e. Dua ribu dua] mutiara hadiets, Bulan Bintang, 1962 - 576 halaman.
  3. 2002 mutiara hadiets, Volume 1, Bulan-Bintang, 1955 - 584 halaman.
  4. Al-Ahkaam:Hukum-hukum fiqih Islam, Volumes 1-2, Islamyah, 1951.
  5. al-Islam, Bulan Bintang,", 1964.
  6. Al Islam: kepertjaan, kesusilaan, amal kebadjikan, Islamyah, 1969 - 636 halaman.
  7. al-Islâm: penuntun bathin & pembimbing masjarakat, Bulan Bintang, 1956 - 934 halaman.
  8. al Qurän mu'djiat jang terbesar jang tak terkalahkan: kandungan dan artinja bagi ummat Islam chususnja dan ummat manusia umumnja, s. n. - 44 halaman.
  9. Biografie pelopor2 pahlawan Islam, Pustaka Alhambra, 1950 - 152 halaman.
  10. Dasar-dasar Fiqih Islam, Tokobuku Islamyah, 1953 - 122 halaman.
  11. Dasar-dasar ideologi Islam, Saiful, 1953 - 181 halaman.
  12. Dasar-dasar kehakiman dalam pemerintahan Islam, C.V. Bulan-Bintang, 1955 - 94 halaman.
  13. Fakta2 keagungan sjari'at Islam, Pudjangga Islam - 40 halaman.
  14. Falsafah hukum Islam, Bulan Bintang, 1975 - 488 halaman.
  15. Fighul mawaris: hukum-hukum warisan dalam syaria̓t Islam, Bulan Bintang, 1973 - 324 halaman.
  16. Fiqh Islam, Attahirijah - 476 halaman.
  17. Fiqih Islam mempunyai daya elastis, lengkap, bulat dan tuntas, Bulan Bintang, 1975 - 168 halaman.
  18. Hakikat Islam dan unsur-unsur agama, Menara Kudus, 1982 - 117 halaman.
  19. Hukum antar golongan dalam fiqih Islam, Bulan Bintang, 1971 - 164 halaman.
  20. Hukum-hukum fiqih Islam: yang berkembang dalam kalangan ahlus sunnah, Bulan Bintang, 1978 - 677 halaman.
  21. Hukum perang dalam Ǐslam, Biro Kemahasiswaan I.A.I.N. Sunan Kalidjaga, 1967 - 91 halaman.
  22. Ichtisar tuntunan zakah dan fithrah, Bulan Bintang, 1958 - 64 halaman.
  23. Ideologi Islam dan qaedah pemerintahan, 1950 - 95 halaman.
  24. Ilmu2 al-Qurän: media2 pokok dalam menafsirkan al-Qurän, Bulan Bintang, 1972 - 300 halaman.
  25. Islam dan HAM (Hak Asasi Manusia): Dokumenter Politik Pokok-pokok Pikiran Partai Islam dalam Sidang Konsituante 4 Februari 1958, Pustaka Rizki Putra, 1999 - 93 halaman.
  26. Ke arah fiqh Indonesia: mengenang jasa Prof. Dr. T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, Forum Studi Hukum Islam, Fakultas Syari'ah, IAIN Sunan Kalijaga, 1994 - 158 halaman.
  27. Kelengkapan dasar2 fiqih Islam: pengantar ushul fiqih, Islamyah, 1953 - 207 halaman.
  28. Koleksi Hadits-hadits Hukum, 9 Jilid, Alma'arif, 1970.
  29. Kriteria antara sunnah dan bid'ah, Thinker's Library, 1986 - 160 halaman.
  30. Kulijah hadiets: sjarahan hadiets-hadietstasjrie' ʻibadah, Darul Irfan.
  31. Kullijah 'ibâdah: ibadah ditindjau dari segi hukum dan hikmah, Bulan Bintang, 1968 - 236 halaman.
  32. Kumpulan soal-jawab dalam post graduate course jurusan ilmu fiqh dosen2 I. A. I. N., Bulan Bintang, 1973 - 108 halaman.
  33. Kursus sembahjang dan do'a, Pustaka Madju - 96 halaman.
  34. Lapangan perjuangan wanita Islam, Menara Kudus, 1952 - 40 halaman.
  35. Lembaga pribadi, Madju - 175 halaman.
  36. Mu'djizat al-Qurän, Bulan Bintang, 1966 - 56 halaman.
  37. Mukhtārāt min aḥādīth al-aḥkām li-qism al-duktūrāh al-ūlá, biro Kemahasiswaan I.A.I.N. al-Djami'ah "Sunan Kalidjogo,", 1965 - 128 halaman.
  38. Mutiara Hadis 1 (Keimanan).
  39. Mutiara Hadis 2 (Thaharah & Shalat).
  40. Mutiara Hadis 3 (Shalat).
  41. Mutiara Hadis 4 (Jenazah, Zakat, Puasa, Iktikaf & Haji).
  42. Mutiara Hadis 5 (Nikah & Hukum Keluarga, Perbudakan, Jual Beli, Nazar & Sumpah, Pidana & Peradilan, Jihad).
  43. Pahala dan keutamaan ibadat, doʾa dan dzikir, Ramadhani - 78 halaman.
  44. Pedoman dzikir dan doʻa, Bulan Bintang, 1964 - 568 halaman.
  45. Pedoman Hajji, Thinker's Library, 1986 - 262 halaman.
  46. Pedoman hukum Sjar'y jang berkembang dalam 'alam Islamy Sunny, Volume 1, Pustaka Islam, 1956 - 382 halaman.
  47. Pedoman ibadat puasa, Bulan Bintang, 1954 - 144 halaman.
  48. Pedoman puasa, Bulan Bintang, 1963 - 208 halaman.
  49. Pedoman shalat, Bulan Bintang, 1963 - 478 halaman.
  50. Pelajaran tauhid: pokok2 ʾaqaid Islam : untuk pelajaran agama bagi sekolah2 permulaan dan umum, Madju, 1962 - 58 halaman.
  51. Pemindahan darah (blood transfusion) dipandang dari sudut hukum agama Islam, Bulan-Bintang, 1954 - 24 halaman.
  52. Pengantar hukum Islam, Bulan Bintang, 1968 - 432 halaman.
  53. Pengantar fiqih mu'amalah, Bulan Bintang, 1974 - 216 halaman.
  54. Pengantar ilmu fiqh, Bulan Bintang, 1978 - 272 halaman.
  55. Pengantar ilmu perbandingan madzhab, Bulan Bintang, 1975 - 92 halaman.
  56. Perbedaan mathlaʻ tidak mengharuskan kita berlainan hari pada memulai puasa, Ladjnah Taʻlif Wan Nasjr Fakultas Sjariʻah Institut Agama Islam Negeri Sunan Kalidjaga, 1971 - 35 halaman.
  57. Perbendaharaan zakat, Al-Ma'arif, 1953 - 121 halaman.
  58. Pidana mati (dalam syari'at Islam), Lembaga Penerbitan, Institut Agama Islam Negeri Sunan Kalijaga, 1974 - 24 halaman.
  59. Pokok-pokok ilmu dirajah hadiets, Bulan Bintang, 1958 - 274 halaman.
  60. Pokok-pokok pegangan imam-imam madzhab dalam membina hukum Islam, Bulan Bintang, 1973.
  61. Pokok-pokok sebab perbedaan faham para ulama/fuqoha dalam menetapkan hukum syara, Ramadhani, 1973 - 24 halaman.
  62. Polygami, menurut hukum Islam, C.V. "Bulan-Bintang", 1955 - 20 halaman.
  63. Problematika bulan Ramadhan, Menara Kudus, 1972 - 59 halaman.
  64. Problematika hadits sebagai dasar pembinaän hukum Islam, Bulan Bintang, 1964 - 63 halaman.
  65. Problematika 'iedul fithri, Menara Kudus, 1972 - 34 halaman.
  66. Ridjalul hadiets: biographi 7 shahabi dan 18 tabi'in jang terkemuka dalam lapangan hadiets : kullijah hadiets, Biro Kemahasiswaan IAIN al-Djami'ah Jogjakarta - 155 halaman.
  67. Sedjarah dan pengantar 'ilmu al-Qurän/tafsir, Bulan Bintang, 1965 - 272 halaman.
  68. Sedjarah dan pengantar ilmu hadits, Bulan Bintang, 1965 - 276 halaman.
  69. Sedjarah dan pengantar ilmu tafsir, Bulan-Bintang, 1955 - 180 halaman.
  70. Sedjarah dan perdjuangan 40 pahlawan utama dalam Islam, Pustaka Islam, 1955 - 119 halaman.
  71. Sedjarah kehakiman dalam pemerintahan2 Islam, Islamyah, 1950 - 76 halaman.
  72. Sedjarah peradilan Islam, Biro Kemahasiswaan I.A.I.N., al-Djamilah - 106 halaman.
  73. Sedjarah petumbuhan dan perkembangan hukum Islam, Bulan Bintang, 1971 - 288 halaman.
  74. Syari'at Islam adalah syari'at dunia dan kemanusiaan, Ramadhani, 1972 - 61 halaman.
  75. Sjari'at Islam mendjawab tantangan zaman, Bulan Bintang, 1966 - 48 halaman.
  76. Tafsir al-Bayaan, Alma'arif, 1966.
  77. Tafsir al Qurânul majied "An Nur", Bulan Bintang, 1976.
  78. Tafsir al-Qur'anul Majid an-Nuur: Surat 42-114, Pustaka Rizki Putra, 2000 - 4760 halaman.
  79. Tafsier al-Qurânul madjied "An-Nur", Volume 3, Bulan Bintang, 1967.
  80. Tafsir al-Qurânul madjied "An-Nur", Volume 4, Bulan Bintang, 1965.
  81. Tafsir al-Qurânul madjied "An-Nur", Volume 5, Bulan Bintang, 1965.
  82. Tafsir al-Qurânul madjied "An-Nur", Volume 6, Bulan Bintang, 1965.
  83. Tafsier al-Qurânul madjied "An-Nur", Volume 25, Bulan Bintang.
  84. Tuntunan zakah dan fithrah:tjaranja memberi, menerima dan membagi, slamijah, 1949 - 69 halaman.
  85. Tuntutan qurban, 1966 - 68 halaman.(wikipedia,2013)
4.      Pemikiran Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy
Hasbi ash-Shiddieqy berpendirian bahwa syariat Islam bersifat dinamis dan elastis, sesuai dengan perkembangan masa dan tempat. Ruang lingkupnya mencakup segala aspek kehidupan manusia, baik dalam hubungannya dengan sesama maupun dengan Tuhannya. Syariat Islam yang bersumber dari wahyu Allah SWT., ini kemudian dipahami oleh umat Islam melalui metode ijtihad untuk dapat mengantisipasi setiap perkembangan yang timbul dalam masyarakat. Ijtihad inilah yang kemudian melahirkan fiqh. Banyak kitab fiqh yang ditulis oleh ulama mujtahid. Di antara mereka yang terkenal adalah imam-imam mujtahid pendiri mazhab yang empat: Abu Hanifah, Malik, asy-Syafi’i dan Ahmad Hanbal.
Akan tetapi menurut Hasbi ash-Shiddieqy, banyak umat Islam, khususnya di Indonesia, yang tidak membedakan antara syariat yang langsung berasal dari Allah SWT, dan fiqh yang merupakan pemahaman ulama mujtahid terhadap syariat tersebut. Selama ini terdapat kesan bahwa umat Islam Indonesia cenderung menganggap fiqh sebagai syariat yang berlaku absolut. Akibatnya, kitab-kitab fiqh yang ditulis imam-imam mazhab dipandang sebagai sumber syariat, walaupun terkadang relevansi pendapat imam mazhab tersebut ada yang perlu diteliti dan dikaji ulang dengan konteks kekinian, karena hasil ijtihad mereka tidak terlepas dari situasi dan kondisi sosial budaya serta lingkungan geografis mereka. Tentu saja hal ini berbeda dengan kondisi masyarakat kita sekarang.
Menurutnya, hukum fiqh yang dianut oleh masyarakat Islam Indonesia banyak yang tidak sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia. Mereka cenderung memaksakan keberlakuan fiqh imam-imam mazhab tersebut. Sebagai alternatif terhadap sikap tersebut, ia mengajukan gagasan perumusan kembali fiqh Islam yang berkepribadian Indonesia. Menurutnya, umat Islam harus dapat menciptakan hukum fiqh yang sesuai dengan latar belakang sosiokultur dan religi masyarakat Indonesia. Namun begitu, hasil ijtihad ulama masa lalu bukan berarti harus dibuang sama sekali, melainkan harus diteliti dan dipelajari secara bebas, kritis dan terlepas dari sikap fanatik. Dengan demikian, pendapat ulama dari mazhab manapun, asal sesuai dan relevan dengan situasi masyarakat Indonesia, dapat diterima dan diterapkan.
Untuk usaha ini, ulama harus mengembangkan dan menggalakkan ijtihad. Hasbi ash-Shiddieqy menolak pandangan bahwa pintu ijtihad tidak pernah tertutup, karena ijtihad adalah suatu kebutuhan yang tidak dapat dielakkan dari masa ke masa. Menurutnya, untuk menuju fiqh Islam yang berwawasan ke Indonesiaan, ada tiga bentuk ijtihad yang perlu dilakukan.
Pertama, ijtihad dengan mengklasifikasi hukum-hukum produk ulama mazhab masa lalu. Ini dimaksudkan agar dapat dipilih pendapat yang masih cocok untuk diterapkan dalam masyarakat kita.
Kedua, ijtihad dengan mengklasifikasi hukum-hukum yang semata-mata didasarkan pada adat kebiasaan dan suasana masyarakat di mana hukum itu berkembang. Hukum ini, menurutnya, berubah sesuai dengan perubahan masa dan keadaan masyarakat. Ketiga, ijtihad dengan mencari hukum-hukum terhadap masalah kontemporer yang timbul sebagai akibat dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, seperti transplantasi organ tubuh, bank, asuransi, bank, air susu ibu, dan inseminasi buatan.
Karena kompleksnya permasalahan yang terjadi sebagai dampak kemajuan peradaban, maka pendekatan yang dilakukan untuk mengatasinya tidak bisa terpilah-pilah pada bidang tertentu saja. Permasalahan ekonomi, umpamanya, akan berdampak pula pada aspek-aspek lain. Oleh karena itu, menurutnya ijtihad tidak dapat terlaksana dengan efektif kalau dilakukan oleh pribadi-pribadi saja. Hasbi ash-Shiddieqy menawarkan gagasan ijtihad jama’i (ijtihad kolektif). Anggotanya tidak hanya dari kalangan ulama, tetapi juga dari berbagai kalangan ilmuwan muslim lainnya, seperti ekonom, dokter, budayawan, dan politikus, yang mempunyai visi dan wawasan yang tajam terhadap permasalahan umat Islam. Masing-masing mereka yang duduk dalam lembaga ijtihad kolektif ini berusaha memberikan kontribusi pemikiran sesuai dengan keahlian dan disiplin ilmunya. Dengan demikian, rumusan ijtihad yang diputuskan oleh lembaga ini lebih mendekati kebenaran dan jauh lebih sesuai dengan tuntutan situasi dan kemaslahatan masyarakat. Dalam gagasan ijtihad ini ia memandang urgensi metodologi pengambilan dan penetapan hukum (istinbath) yang telah dirumuskan oleh ulama seperti qias, istihsan, maslahah mursalah (maslahat) dan urf.
Lewat ijtihad kolektif ini, umat Islam Indonesia dapat merumuskan sendiri fiqh yang sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia. Rumusan fiqh tersebut tidak harus terikat pada salah satu mazhab, tetapi merupakan penggabungan pendapat yang sesuai dengan keadaan masyarakat. Dan memang, menurutnya hukum yang baik adalah yang mempertimbangkan dan memperhatikan kondisi sosial, ekonomi, budaya, adat-istiadat, dan kecenderungan masyarakat yang bersangkutan. Hasbi ash-Shiddieqy bahkan menegaskan bahwa dalam sejarahnya banyak kitab fiqh yang ditulis oleh ulama yang mengacu kepada adat-istiadat (urf) suatu daerah. Contoh paling tepat dalam hal ini adalah pendapat Imam asy-Syafi’i yang berubah sesuai dengan lingkungan tempat tinggalnya. Pendapatnya ketika masih di Irak (qaul qadim/pendapat lama) sering berubah ketika ia berada di Mesir (qaul jadid/pendapat baru) karena perbedaan lingkungan dan adat-istiadat kedua daerah.
Selain pemikiran di atas, ia juga melakukan ijtihad untuk menjawab permasalahan hukum yang muncul dalam masyarakat. Dalam persoalan zakat, umpamanya, pemikiran ijtihad Hasbi ash-Shiddieqy tergolong modern dan maju. Secara umum ia sependapat dengan jumhur ulama yang mengatakan bahwa yang menjadi objek zakat adalah harta, bukan orang. Oleh karena itu, dari harta anak kecil yang belum mukalaf yang telah sampai nisabnya wajib dikeluarkan zakatnya oleh walinya.
Hasbi ash-Shiddieqy memandang bahwa zakat adalah ibadah sosial yang bertujuan untuk menjembatani jurang antara yang kaya dan yang miskin . Oleh sebab itu ia berpendapat bahwa zakat dapat dipungut dari non muslim (kafir kitabi) untuk diserahkan kembali demi kepentingan mereka sendiri. Ia mendasarkan pendapatnya pada keputusan Umar ibn al-Khaththab (581-644 M.), khalifah kedua setelah Nabi Muhammad saw. wafat, untuk memberikan zakat kepada kaum zimmi atau ahluz zimmah (orang-orang non muslim yang bertempat tinggal di wilayah negara Islam) yang sudah tua dan miskin. Umar juga pernah memungut zakat dari orang Nasrani Bani Tughlab. Pendapat ini dilandasi oleh prinsip pembinaan kesejahteraan bersama dalam suatu negara, tanpa memandang agama dan golongannya.
Menurut Hasbi ash-Shiddieqy, karena fungsi sosial zakat adalah untuk mengentaskan kemiskinan, maka prinsip keadilan haruslah diutamakan dalam pemungutan zakat. Ia berpendapat bahwa standarisasi ukuran nisab sebagai syarat wajib perlu ditinjau ulang. Ia memahami ukuran nisab tidak secara tekstual, yaitu sebagai simbol-simbol bilangan yang kaku. Ia menandaskan bahwa nisab zakat memang telah diatur dan tidak dapat diubah menurut perkembangan zaman. Akan tetapi, standar nisab ini harus diukur dengan emas, yaitu 20 miskal atau 90 gram emas. Menurutnya, emas dijadikan standar nisab karena nilainya stabil sebagai alat tukar.
Sejalan dengan tujuannya untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat, ia memandang bahwa pemerintah sebagai ulil-amri (penguasa pemerintahan di negara Islam) dapat mengambil zakat secara paksa terhadap orang yang enggan membayarnya. Ia juga berpendapat bahwa pemerintah hendaknya membentuk sebuah dewan zakat (baitulmal) untuk mengkoordinasi dan mengatur pengelolaan zakat. Dewan ini haruslah berdiri sendiri, tidak dimasukkan dalam Depertemen Keuangan atau perbendaharaan negara. Karena pentingnya masalah zakat ini, ia mengusulkan agar pengaturannya dituangkan dalam bentuk undang-undang yang mempunyai kekuatan hukum.
Ada beberapa sisi menarik pada diri Muhammad Hasbi, antara lain:
Pertama, ia adalah seorang otodidak. Pendidikan yang ditempuhnya dari dayah ke dayah, dan hanya satu setengah tahun duduk di bangku sekolah Al Irsyad (1926). Dengan basis pendidikan formal seperti itu, ia memperlihatkan dirinya sebagai seorang pemikir. Kemampuannya selaku seorang intelektual diakui oleh dunia internasional. Ia diundang dan menyampaikan makalah dalam Internasional Islamic Colloquium yang diselenggarakan di Lahore Pakistan (1958). Selain itu, berbeda dengan tokoh-tokoh lainnya di Indonesia, ia telah mengeluarkan suara pembaharuan sebelum naik haji atau belajar di Timur Tengah.
Kedua, ia mulai bergerak di Aceh, di lingkungan masyarakat yang dikenal fanatik, bahkan ada yang menyangka “angker”. Namun Hasbi pada awal perjuangannya berani menentang arus. Ia tidak gentar dan surut dari perjuangannya kendatipun karena itu ia dimusuhi, ditawan dan diasingkan oleh pihak yang tidak sepaham dengannya.
Ketiga, dalam berpendapat ia merasa dirinya bebas tidak terikat dengan pendapat kelompoknya. Ia berpolemik dengan orang-orang Muhammadiyah dan Persis, padahal ia juga anggota dari kedua perserikatan itu. Ia bahkan berani berbeda pendapat dengan jumhur ulama, sesuatu yang langka terjadi di Indonesia.
Keempat, ia adalah orang pertama di Indonesia yang sejak tahun 1940 dan dipertegas lagi pada tahun 1960, menghimbau perlunya dibina fiqh yang berkepribadian Indonesia. Himbauan ini menyentak sebagian ulama Indonesia. Mereka angkat bicara menentang fiqh (hukum in concreto) di-Indonesia-kan atau dilokalkan. Bagi mereka, fiqh dan syariat (hukum in abstracto) adalah semakna dan sama-sama universal. Kini setelah berlalu tigapuluh lima tahun sejak 1960, suara-suara yang menyatakan masyarakat muslim Indonesia memerlukan “fiqh Indonesia” terdengar kembali. Namun sangat disayangkan, mereka enggan menyebut siapa penggagas awalnya. Mencatat penggagas awal dalam sejarah adalah suatu kewajiban, demi tegaknya kebenaran sejarah.
Pada tanggal 9 Desember 1975, setelah beberapa hari memasuki karantina haji, dalam rangka menunaikan ibadah haji, beliau berpulang ke rahmatullah, dan jasad beliau dimakamkan di pemakaman keluarga IAIN Ciputat Jakarta. Pada upacara pelepasan jenazah almarhum, turut memberi sambutan almarhum Buya Hamka, dan pada saat pemakaman beliau dilepas oleh almarhum Mr. Moh. Rum. Naskah terakhir yang beliau selesaikan adalah Pedoman Haji yang kini telah banyak beredar di masyarakat luas.(sabrial ,2007)

5.      Corak Penafsiran Muhammad Hasbi Ash-Shidieqy
            Corak penafsiran adalah menafsirkan al-qur’an dalam perspektif aliran, mazhab dan disiplin ilmu tertentu. Adapun metode penafsiran yang digunakan oleh Hasbi adalah sebagai berikut:
1.      Metode tafsir bi al-izdiwaji(perpaduan antara bi al manqul dan bi al ma’qul) bila ditinjau dari segi penafsirannya adalah: cara menafirkan al-qur’an yang didasarkan atas perpaduan sumber tafsir riwayah yang kuat dan shahih dengan sumber hasil ijtihad pikiran yang sehat.
2.      Metode tafsir muqarin/komparasi(bila ditinjau dari segi cara penjelasannya terhadap tafsiran ayat-ayat al-qur’an) yaitu membandingkan ayat dengan ayat yang membicarakan masalah yang sama, ayat dengan hadits, antara pendapat para mufasir dengan mufasir lain.
3.      Metode tafsir ithnabi (bila ditinjau dari segi keluasan penjelasan tafsirannya) ialah penafsiran dengan cara menafsirkan ayat al-qur’an hanya secara mendetail/rinci, dengan uraian-uraian yang panjang lebar sehingga cukup jelas dan terang yang banyak disenangi oleh para cerdik pandai.
4.      Metode tafsir Tahlily (bila ditinjau dari segi sasaran dan tertib ayat-ayat yang ditafsirkan) adaah menafsirkan ayat-ayat al-qur’an dengan cara urut dan tertib dengan uraian ayat-ayat dan surat-surat dalam mushaf, dari awal surat al-fatihah sampai akhir surat an-nas.
Berbicara tentang corak tafsir an-nuur, dengan mencermati isi tafsir tersebut, maka dapat dikatakan corak tafsir ini bersifat umum.  Artinya tidak mengacu pada corak atau aliran tertentu. Tidak ada corak yang dominan yang menjadi ciri khusus pada tafsir ini. Semua menggunakan pemahaman ayat secara netral tanpa membawa warna khusus seperti akidah, fikih, tasawuf atau lainnya. Komentar-komentar Hasbi Ash-Shiddieqy juga bersifat netral dan tidak memihak.  Mekanisme atau langkah-langkah yang ditempuh Hasbi untuk membahas ayat-ayat al-qur’an a dalam kitab tafsir an-nuur adalah sebagai berikut:
1.      Menyebutkan satu, dua atau tiga ayat yang masih satu pembahasan, menurut tertib mushaf.
2.      Menerjemahkan ayat kedalam bahasa indonesia dengan cara yang mudah dipahamkan, dengan memperhatikan makna-makna yang dikehendaki masing-masing lafal, dengan diberi judul “terjemahan”
3.      Menafsirkan ayat-ayat itu dengan menunjuk kepada sari patinya.
4.      Penafsiran masing –masing ayat dengan didukung oleh ayat yang lain, hadits, riwayat sahabat dan tabi’in serta penjelasan yang ada kaitannya dengan ayat tersebut dan ayatnya diberi judul “tafsirnya”
5.      Menerangkan sebab-sebab turun ayat, jika diperoleh atsar yanag shahih yang diakui shahihnya oleh ahli-ahli atsar (ahli-ahli hadits)
6.      Kesimpulan, intisari dari kandungan ayat.(ahmad saefulloh,2013)



















BAB III
KESIMPULAN

            Kesimpulan yang dapat ditarik dari seorang ulama Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy antara lain:
1.      Pertama, ia adalah seorang otodidak. Pendidikan yang ditempuhnya dari dayah ke dayah, dan hanya satu setengah tahun duduk di bangku sekolah Al Irsyad (1926). Dengan basis pendidikan formal seperti itu, ia memperlihatkan dirinya sebagai seorang pemikir. Kemampuannya selaku seorang intelektual diakui oleh dunia internasional.
2.      Kedua, ia mulai bergerak di Aceh, di lingkungan masyarakat yang dikenal fanatik, bahkan ada yang menyangka “angker”. Namun Hasbi pada awal perjuangannya berani menentang arus. Ia tidak gentar dan surut dari perjuangannya kendatipun karena itu ia dimusuhi, ditawan dan diasingkan oleh pihak yang tidak sepaham dengannya.
3.      Ketiga, dalam berpendapat ia merasa dirinya bebas tidak terikat dengan pendapat kelompoknya.
4.      Keempat, ia adalah orang pertama di Indonesia yang sejak tahun 1940 dan dipertegas lagi pada tahun 1960, menghimbau perlunya dibina fiqh yang berkepribadian Indonesia.
5.      salah satu karya tafsir beliau adalah tafsir an-nuur yang beliau karang sejak tahun 1950.tafsir an-nuur ini beliau susun berdasarkan tertib mushaf, dengan mengumpulkan beberapa ayat yang sepokok pembahasan, menerjemahkan ke dalam bahasa indonesia, menafsirkan ayat berdasarkan sari patinya, mencantumkan ayat lain yang setema, hadits maupun pendapat para ulama, menyebutkan asbab al nuzul jika ada dan yang terakhir memberi kesimpulan. Tafsir an-nuur ini tidak memiliki corak tertentu (netral).




[1] Badiatul Raziqin dkk, 101 Jejak Tokoh Islam Indonesia, (Yogyakarta: e-Nusantara, 2009), h. 242. Lihat juga di Dewan Penyusun Ensiklopedi, Ensiklopedi Islam 2, (Jakarta: PT. Ikhtiar Baru Van Hoeve, 2003), h. 94